Salah satu program KPRI KIPAS tahun 1978 berbunyi :
“memperluas fasilitas kredit pada umumnya dan kredit untuk usaha-usaha kooperatif produktif atau usaha-usaha pembangunan masyarakat pada khususnya “
Dari rumusan program seperempat abad yang lalu itu, kita dapat menarik kesimpulan bahwa ketika itu KPRI KIPAS menyelenggarakan 3 (tiga ) macam kredit
Pertama, kredit modal usaha untuk perorangan sebagaimana kita kenal sampai sekarang. Kedua,, kredit modal usaha untuk kelompok anggota, yang secara bersama-sama (kooperatif) memiliki usaha produktif. Ketiga kredit modal usaha untuk kelompok anggota yang memiliki program pembangunan masyarakat.
Dalam tulisan ini akan diketengahkan uraian tentang kredit macam kedua, yakni Kredit Usaha Kooperatif Produktif. Kredit ini diselenggarakan berdasarkan pemikiran, bahwa anggota koperasi yang pada umumnya terdiri dari golongan ekonomi lemah, hanya akan kuat kalau bekerja sama. Kerja-sama itu dilembagakan dalam kelompok. Kalau tidak berkelompok mereka akan tetap lemah. Perkataan “produktif” dimaktubkan untuk mengarahkan agar kredit itu tidak digunakan untuk usaha komsumtif. Besarnya kredit untuk usaha kooperatif produktif ini dapat lebih besar dari kredit untuk perorangan. Dengan demikian modal usaha yang diperoleh oleh kelompok dapat cukup memadai untuk usaha.
Prosedur untutk memperoleh kredit ini tidak sulit. Masing-masing anggota kelompok mengajukan permohonan kredit, menggunakan blanko permohonan yang disediakan oleh KPRI KIPAS. Permohonan perorangan anggota kelompok itu dilengkapi dengan proposal tentang usaha produktif yang akan diselenggarakan. Proposal diperlukan guna memastikan adanya usaha bersama dan tersediannya peluang bagi Pengurus untuk memberikan saran.
Anehnya, ternyata anggota-anggota belum pernah membentuk kelompok untuk memanfaatkan kredit ini. Timbullah pertanyaan dimanakah kesulitannnya? Atau apakah kesulitannya?
Sejak Juli 1998 – 20 tahun sesudah KPRI KIPAS memprogramkan Kredit usaha bersama – Pemerintah bekerjasama dengan World Bank ( Bank Dunia) mempersiapkan proyek penanggulangan kemiskinan di Perkotaan, disingkat P2KP. Kabupaten Sleman merupakan salah satu daerah tingkat dua yang menjadi sasaran proyek ini. Proyek ini dirancang setelah pemerintah sampai pada suatu kesimpulan tentang perlunya masyarakat diberdayakan sehingga mampu menanggulangi kemiskinan warganya secara mandiri. Dan kalau masyarakat mampu menanggulangi kemiskinan secara mandiri , tentulah usaha penanggulangan kemiskinan itu dapat berlanjut, meskipun proyek telah selesai.
Untuk itu masyarakat miskin didorong utuk mengelompokkan diri dalam lembaga kerjasama yang disebut Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) yang anggotanya minimal 3 (tiga) orang. Di tingkat desa dibentuk Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) yang tugasnya antara lain mengkoordinasikan rencana-rencana kegiatan KSM, dan mengelola dana dari P2KP melalui Unit Pengelolaan Keuangan (UPK).
Dana yang berasal dari P2KP sebagian besar difungsikan sebagai dana bergulir untuk KSM, sebagian dihibahkan untuk pembangunan fisik dan sebagian lagi untuk hibah pelatihan. Mengelola dana bergulir untuk KSM merupakan pekerjaan rutin yang berkelanjutan bagi BKM, sementara dana hibah untuk pembangunan fisik dan pelatihan selesai setelah disalurkan.
Penyelenggaraan Kredit Usaha Kooperatif Produktif oleh KPRI KIPAS seperempat abad yang lalu- yang belum pernah terselenggara- mirip kegiatan BKM dengan dana bergulirnya. Kesulitan yang dialami BKM dalam penyelenggaraan kredit untuk KSM dipersepsikan juga merupakan kesulitan bagi KPRI KIPAS andaikata KPRI KIPAS dapat menyelenggarakan Kredit Usaha Kooperatif Produktif sebagaimana diprogramkan.
Guna menguak kesulitan sebuah usaha bersama, marilah kita mencoba memahami budaya dari nenek moyang kita, yakni budaya gotong-royong. Gotong-royong artinya, bersama-sama menggotong, bersama-sama pula meroyong. Bersama-sama mengangkat, bersama-sama mengambil manfaat. Itulah yang terjadi ketika warga dusun membangun jalan, tempat ibadah, jembatan dll. Proses bersama-sama meroyong atau bersama –sama mengambil manfaat itu ternyata tidak terbatas pada siapa yang dahulu menggotong atau siapa yang dahulu mengangkat. Yang meroyong setelah bangunan selesai dikerjakan boleh siapa saja. Yang dahulu menggotong, yang tidak menggotong, bahkan yang dahulu menentang pembangunannya pun boleh meroyong.Inilah tipe atau model gotong-royong kita.
Sementara dalam institusi Usaha bersama , yang diprogamkan oleh KPRI KIPAS atau yang diselenggarakann oleh BKL, yang boleh meroyong terbatas pada mereka yang dahulu menggotong. Dan proses meroyong ini ternyata tidak sederhana. Mungkin mereka bekerja sama dalam suatu usaha dan sepakat bahwa hasil usaha perlu dibagi secara adil. Tetapi adil itu bagaimana ? Tidaklah mudah menerapkannya.
Penulis pernah menyaksikan, ada sembilan orang mahasiswa bersama-sama mendirikan warung soto. Ternyata usaha itu belum sampai berumur satu tahun sudah bubar. Rupa-rupanya salah satu kesulitannnya adalah dalam proses meroyong.
Penulis pernah juga mengagumi dua orang mahasiswa, yang menyelenggrakan usaha bersama memasarkan durian. Durian dibeli di Kulon Progo dan dipasarkan di Sleman. Selidik punya selidik ternyata kedua orang mahasiswa yang nampak rukun itu sudah sekian hari tidak saling menyapa. Sudah putus hubungan. Apakah masalahnya ? Penulis berkeyakinan, apa lagi kalau bukan masalah meroyong? Masalah bagi hasil.
Bahwa masalah bagi hasil atau meroyong itu berat dan rumit sebenarnya dapat kita saksikan dibanyak kalangan.
Kawanan perampok yang begitu padu ketika merampok, ternyata saling mebunuh antara teman masalah bagaimana membagi hasil perampokannya. Dapat saja terjadi begitu kompaknya jajaran pimpinan sebuah partai dalam berusaha memperoleh kemenangan dalam Pemilu 2004 nanti, akan tetapi kekompakan itu berantakan setelah yang diperjuangkan nampak akan berhasil.
Di KSM pun terdapat kesulitan bagaimana mereka membagi hasil, Akibatnya KSM yang diharapkan merupakan lembaga usaha bersama guna menanggulangi kemiskinan, hanya berhasil menjadi lembaga usaha bersama dalam mengambil kredit. Masalah usaha, masing-masing anggotanya bekerja sendiri-sendiri.
Dari uraian diatas semoga dapat difahami proses meroyong yang terbatas sebenarnya cukup rumit. Golongan ekonomi lemah masih harus banyak belajar. Belajar bagaimana mengoperasionalkan keadilan dalam membagi hasil usaha.
Golongan ekonomi kuat, justru cukup terampil membagi hasil. Alhasil mengapa program Kredit Usaha kooperatif Produktif tidak diselenggarakan ? jawaban sementara adalah karena kita belum terampil mengoperasikan keadilan dalam membagi hasil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar